" DIBAWAH LANGIT ASAP BAHODOPI"
Ian berdiri di tepi dermaga Bahodopi, memandangi kapal-kapal besar yang berlabuh dan suara alat-alat berat yang memekakkan telinga. Dengan mata yang sedikit merah dan pandangan yang dalam, Ian tidak bisa mengabaikan rasa lelah yang menggerogoti tubuhnya. Sudah tiga tahun ia bekerja di kawasan industri ini, di bawah tekanan dan rutinitas yang membuatnya kadang mempertanyakan tujuan hidupnya.
Ian adalah salah satu dari sekian banyak pekerja yang datang dari desa terpencil dengan harapan mengubah nasib. Di awal, ia merasa penuh semangat, membayangkan gaji yang akan ia kirim untuk keluarganya. Namun, semakin lama, Ian merasa seperti roda gigi yang terjebak dalam mesin raksasa, tidak pernah berhenti bergerak meski semakin aus.
Suatu malam, Ian mendapat jadwal shift tambahan. Pekerjaan ini memang menuntutnya untuk selalu siap sedia. Begitu masuk ke area peleburan, Ian merasakan suhu panas yang seakan membakar kulit. Bau logam panas memenuhi ruangan, memaksa paru-parunya bekerja lebih keras. “Ini bukan pekerjaan untuk orang biasa,” pikir Ian, meski dalam hati ia sadar bahwa ia tak punya pilihan lain.
Tiap kali mengambil lembur, pikirannya kembali ke rumahnya yang jauh. Terbayang wajah kedua orang tua dan adik-adiknya, yang bergantung padanya. Namun, malam itu berbeda—ada beban di dadanya yang terasa lebih berat. Lelah, ia melirik ke arah cerobong yang mengeluarkan asap hitam pekat dan bertanya pada dirinya sendiri, “Berapa lama lagi aku sanggup bertahan di sini?”
Jam menunjukkan pukul tiga pagi, dan Ian mulai merasa kepalanya berputar karena kelelahan. Namun, saat ia hendak beristirahat sejenak, sebuah suara keras terdengar dari ruang mesin. "Ian! Mesin nomor tiga! Cepat ke sana!" teriak seorang supervisor.
Dengan langkah tergesa, Ian berlari menuju mesin yang dimaksud. Di sana, ia melihat bahwa mesin utama mengalami kebocoran pada sistem pendingin, dan suhu sudah mencapai titik kritis. Jika dibiarkan, bukan hanya mesin yang rusak—ledakan besar bisa terjadi.
Ian mencoba mengingat semua prosedur yang pernah diajarkan, namun kali ini suasana panik di sekitarnya membuat pikirannya kacau. Dengan tangan gemetar, ia menutup katup darurat dan mencoba menenangkan dirinya. Keringat bercucuran, matanya berkedip beberapa kali untuk menghalau rasa kantuk yang tak tertahankan. “Ayo, Ian, kamu pasti bisa,” gumamnya pada diri sendiri.
Namun saat ia tengah berusaha memutar salah satu katup, tekanan di dalam mesin malah semakin meningkat. Rekan-rekannya yang berada di sekitarnya mulai berteriak, memanggil-manggil namanya. Namun, Ian hanya fokus pada satu hal: menghentikan mesin ini agar tidak meledak. Akhirnya, dengan segenap tenaga, Ian berhasil menutup katup utama. Seketika, suara mendesis keras terdengar, dan mesin perlahan berhenti bergetar.
Suasana hening sejenak. Rekan-rekannya memandangnya dengan ekspresi lega, sementara Ian merasakan tubuhnya seperti baru saja berperang. Napasnya tersengal, keringat mengalir deras, dan di wajahnya tergambar kepuasan yang aneh. Tapi dalam hati, ia tahu satu hal: bahaya di industri ini bisa datang kapan saja, dan setiap detik adalah pertarungan untuk bertahan hidup.
Di akhir shift, Ian berjalan pulang dengan langkah gontai. Saat ia menginjakkan kaki di luar area pabrik, matahari pagi menyapa dengan sinar hangatnya, kontras dengan dunia panas dan bising yang baru saja ia tinggalkan. Tapi Ian tahu, ia akan kembali ke tempat itu lagi—kembali ke kerasnya Bahodopi, kembali berjuang, demi keluarga dan mimpi yang ia bawa dari kampung halamannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya .semoga dapat bermamaaf . kritik dan saran sangat perlu untuk membangun blog ini.