Pengkhianatan yang Tak Termaafkan
Hidup di Bahomakmur memang penuh liku. Di antara peluh dan kerja keras, persahabatan pun diuji. Aku, Zuky, tak pernah menyangka bahwa orang yang kubantu dengan tulus, Cepu, justru menjadi pengkhianat terbesar dalam hidupku.
Cepu datang ke Bahomakmur tanpa membawa apa-apa. Ia kehilangan arah, tak punya pekerjaan, dan tak tahu harus mulai dari mana. Hatiku yang tak tega akhirnya memberinya tumpangan di rumahku. Aku juga membantu mengurus surat-suratnya agar ia bisa bekerja di IMIP. Bahkan, uang dari kantong pribadiku keluar tanpa perhitungan. Kupikir, dengan memberinya kesempatan, Cepu akan menjadi teman setia di perantauan.
Namun, semua berubah ketika Cepu menunjukkan wajah aslinya. Ia mulai berlagak superior setelah diterima di IMIP. Bukan hanya tak berterima kasih, ia malah merendahkan usahaku, seolah-olah aku ini orang bodoh yang tak tahu dunia. Hal yang paling menyakitkan adalah ketika ia menendang Kona, kucing kesayanganku, dari dapur sampai ke teras. Kona yang waktu itu masih menyusui Lisa langsung kabur dan tak pulang selama lima bulan.
Ketika itu, aku hanya diam. Tak ada kata yang keluar, hanya luka yang terus mengendap di hati.
Namun, aku tahu, membalas dengan tangan sendiri bukanlah jawabannya. Membunuh Cepu hanya akan membuatku kehilangan diriku sendiri. Sebaliknya, aku memilih jalan lain: menghancurkan karakter dan mentalnya dengan cara yang elegan.
Aku mulai berbicara dengan teman-teman kerja di IMIP. Pelan-pelan, aku mengungkapkan cerita nyata tentang Cepu—tentang bagaimana ia menjadi pengkhianat yang tak tahu diri. Aku tak perlu menambah atau mengurangi fakta, karena tindakannya sudah cukup berbicara. Kata-kataku menyebar dari satu mulut ke mulut lainnya, hingga akhirnya semua orang tahu siapa Cepu sebenarnya.
Lambat laun, Cepu mulai merasakan dampaknya. Ia dijauhi di tempat kerja, tak ada yang percaya padanya lagi. Bahkan, ketika ia mencoba berteman dengan orang-orang baru, cerita tentang pengkhianatannya sudah lebih dulu sampai di telinga mereka. Cepu kehilangan pijakannya di Bahomakmur.
Puncaknya terjadi saat ia tak tahan dengan tekanan mental di sekitarnya. Cepu memutuskan untuk mengundurkan diri dari pekerjaannya dan meninggalkan kota ini. Aku melihatnya pergi dari kejauhan, membawa tas lusuhnya. Meski tak ada kata maaf darinya, aku merasa sudah cukup. Ini bukan soal balas dendam, tapi tentang menegakkan kebenaran dan keadilan untuk diriku sendiri.
Kona akhirnya kembali. Walau tak sepenuhnya seperti dulu, ia masih memilih rumah ini sebagai tempatnya pulang. Aku belajar banyak dari semua ini: tidak semua orang yang kita tolong akan menghargai kita. Namun, itu bukan alasan untuk berhenti berbuat baik. Cepu hanyalah satu pelajaran dalam perjalanan panjang hidupku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya .semoga dapat bermamaaf . kritik dan saran sangat perlu untuk membangun blog ini.