Tragedi Raya: Anak Miskin yang Mati Karena Cacing, Saat DPR Sibuk Menikmati Tunjangan

Raya, balita 4 tahun dari Sukabumi, meninggal dunia dengan cara yang tidak seharusnya dialami seorang anak. Tubuhnya dipenuhi ribuan cacing. Organ vitalnya rusak. Cacing keluar dari hidung, anus, hingga kemaluannya.


Padahal penyakit cacingan bisa dicegah dengan obat murah. Harganya tak sampai Rp5.000. Tetapi akses kesehatan untuk keluarga miskin seperti Raya nyaris tidak ada. Mereka tak punya BPJS, tak mampu membayar rumah sakit, dan sering dipersulit dengan birokrasi ketika butuh pertolongan cepat.

Ketika kondisi kritis, relawan dari Yayasan Rumah Teduh yang turun tangan. Mereka membawa Raya ke RSUD. Mereka juga yang menanggung biaya, karena proses pengurusan BPJS PBI tidak bisa langsung selesai. Negara terlambat hadir. Dan ketika negara benar-benar hadir, itu hanya untuk mencatat kematian.


---

Ironi di Tengah Kenaikan Gaji DPR

Kisah Raya terjadi di saat lain: anggota DPR dan pejabat sibuk menikmati gaji dan tunjangan jumbo.

Seorang anggota DPR bisa membawa pulang Rp70–100 juta per bulan.

Ditambah tunjangan rumah, listrik, perjalanan dinas, kendaraan dinas, semua dibiayai oleh rakyat.

Semua uang itu berasal dari pajak, termasuk dari keluarga miskin seperti orang tua Raya yang bahkan sulit makan sehari-hari.


Pertanyaan sederhana:
Mengapa untuk membayar gaji pejabat, negara selalu cepat dan lancar, tapi untuk menyelamatkan nyawa anak miskin selalu lambat dan penuh alasan?


---

Cermin Kegagalan Negara

Raya bukan hanya mati karena cacing. Ia mati karena ketidakadilan sosial.

Mati karena sanitasi buruk yang tidak pernah serius ditangani.

Mati karena program kesehatan tidak pernah menjangkau desa terpencil.

Mati karena birokrasi lebih mementingkan dokumen daripada nyawa.

Mati ketika pejabat kenyang bergaji ratusan juta, sementara rakyatnya masih kesulitan membeli lauk harian.


Raya adalah simbol bahwa kemiskinan masih membunuh rakyat kecil, sementara pejabat hidup di atas pajak rakyat.


---

Penutup

Raya sudah tiada. Tapi pertanyaan ini harus terus menggema:
Apakah kita akan terus membiarkan anak-anak miskin mati karena penyakit sepele, sementara DPR sibuk menambah tunjangan dan fasilitas?

Jika gaji pejabat cukup untuk makan mewah setiap hari, mengapa rakyat kecil masih harus berjuang sekadar untuk bertahan hidup?

Posting Komentar

0 Komentar