Seorang warga Toraja yang berdomisili di Bahodopi mengalami pengalaman yang cukup mengejutkan ketika hendak mengirim sebuah karton kecil ke Toraja. Biasanya, pengiriman paket seukuran itu hanya berkisar di angka lima puluh ribu rupiah, namun kali ini ceritanya berbeda jauh dari biasanya. Ia, yang kita sebut sebagai PongA2, menceritakan pengalamannya melalui pesan singkat di WhatsApp kepada saya agar kisahnya dijadikan pembelajaran bagi banyak orang baik bagi pengirim barang maupun penyedia jasa travel.
Kisah ini bermula ketika PongA2 ingin mencari travel yang bisa membawa paketnya dari Bahodopi ke Toraja. Karena tidak memiliki nomor sopir langganan, ia mencoba mencari lewat media sosial, memposting status di Facebook dengan maksud menemukan sopir yang akan berangkat ke Toraja. Tak lama kemudian, muncul seseorang di kolom komentar yang mengaku sebagai sopir travel. Dari situ, keduanya mulai berkomunikasi dan akhirnya sepakat untuk menitipkan paket tersebut kepada orang yang mengaku sopir itu.
Namun, perjalanan paket tersebut ternyata tidak semulus yang diharapkan. Berdasarkan keterangan dari PongA2, setelah paket diserahkan, barang itu tidak langsung dibawa oleh sopir pertama yang mengaku akan mengantarkannya. Paket tersebut justru berpindah tangan dioper ke sopir lain, kemudian ke sopir ketiga. Hingga akhirnya, menurut keterangan sopir terakhir, total biaya yang harus dibayar mencapai dua ratus lima puluh ribu rupiah. Jumlah yang jelas jauh dari ongkos normal pengiriman barang kecil dari Bahodopi ke Toraja yang biasanya hanya sekitar lima puluh ribu rupiah.
Sopir ketiga menyebut bahwa uang tersebut sudah dibayarkan kepada pihak sebelumnya, seolah-olah biaya tambahan itu adalah konsekuensi dari paket yang berpindah tangan beberapa kali. PongA2 merasa kecewa karena tidak ada kejelasan di mana letak tambahan biaya itu muncul. Lebih dari itu, ia merasa seperti ada permainan harga yang tidak transparan, seolah di tiap perpindahan, ada tangan yang ikut “menambah harga” tanpa sepengetahuan pengirim. Dan sampai saat ini, belum ada kejelasan resmi dari pihak-pihak yang disebutkan apakah mereka benar sopir travel yang rutin beroperasi dari Toraja atau hanya perantara yang ikut membawa barang.
Sebagai pembanding, saya sendiri pun pernah mengalami hal serupa. Beberapa waktu lalu saya mengirim enam buku dari Bahodopi ke Toraja dengan ongkos seratus ribu rupiah. Awalnya, saya tidak mempermasalahkan biayanya. Tapi ternyata, paket itu tak kunjung sampai. Baru setelah tiga minggu berlalu dan saya terus menanyakan, barulah pada minggu keempat buku tersebut tiba di tangan penerima. Dari pengalaman itu, saya belajar bahwa bukan soal nilainya, tapi soal rasa percaya yang rusak akibat ketidakpastian dan kurangnya komunikasi.
Dari dua pengalaman ini, ada hal mendasar yang harus diperhatikan. Sistem pengiriman yang tidak transparan dan membiarkan paket berpindah dari satu tangan ke tangan lain tanpa pemberitahuan jelas merupakan kesalahan besar. Ini bukan soal “kebiasaan” dalam sistem travel, tapi kelemahan mendasar dalam pelayanan yang harus segera diperbaiki. Pengirim berhak tahu siapa yang membawa paket, ke mana arah pengiriman, dan siapa penanggung jawab terakhir jika ada masalah di perjalanan.
Ketika sebuah paket kecil yang normalnya berharga lima puluh ribu bisa melonjak jadi dua ratus lima puluh ribu tanpa kejelasan, itu bukan lagi masalah kecil. Itu tanda bahwa sistem yang berjalan selama ini sudah mulai kehilangan arah. Mungkin memang belum terbukti ada niat buruk, tapi jika praktik seperti ini dibiarkan terus, maka cepat atau lambat pelanggan akan kehilangan kepercayaan dan mencari alternatif lain. Reputasi yang rusak karena ketidakjujuran tidak bisa diperbaiki dengan kata-kata manis atau alasan klasik “sudah biasa begini.”
Travel atau siapa pun yang menjalankan jasa pengiriman harus paham: kepercayaan pelanggan adalah modal terbesar. Sekali mereka merasa dikecewakan, mereka tak akan kembali. Jika harga seenaknya dimainkan tanpa dasar yang jelas, maka bukan hanya konsumen yang rugi penyedia jasa pun akan kehilangan pasar. Jangan sampai keuntungan sesaat dari satu pengiriman menghancurkan peluang usaha jangka panjang.
Sopir atau perantara yang gemar memanfaatkan ketidaktahuan pengirim untuk menambah harga harus berhenti dengan cara seperti itu. Itu bukan kecerdikan, tapi pelanggaran etika. Jangan berlindung di balik alasan “oper-oper biasa” seolah hal itu lumrah. Kalau sesuatu sudah biasa tapi merugikan banyak orang, itu artinya sudah waktunya diubah, bukan dibenarkan.
Bagi pengirim, selalu pastikan untuk meminta nama sopir, nomor kendaraan, serta bukti serah terima seperti foto atau pesan WhatsApp yang mencatat rute dan biaya. Simpan semua bukti komunikasi untuk jaga-jaga. Sedangkan bagi pihak travel, sudah seharusnya mulai menerapkan sistem tanda terima resmi, agar setiap perpindahan barang dan biaya tambahan bisa dipertanggungjawabkan dengan jelas. Hal sederhana seperti ini bukan hanya menumbuhkan kepercayaan, tapi juga menjaga nama baik usaha itu sendiri.
Kisah yang dialami PongA2 ini adalah peringatan keras bagi kita semua. Jangan menyepelekan hal kecil seperti transparansi dan komunikasi. Di era sekarang, satu pengalaman buruk bisa menyebar luas dan merusak citra seluruh pelaku jasa. Sekali lagi, ini bukan untuk menyudutkan siapa pun, tapi untuk menegaskan bahwa sistem pengiriman yang tidak transparan hanya akan menimbulkan ketidakpercayaan dan pada akhirnya mematikan usaha itu sendiri.
Kejujuran itu sederhana, tidak butuh banyak alasan, dan biayanya jauh lebih murah daripada kehilangan pelanggan. Jika ingin bisnis travel bertahan, perbaiki sistem, buka komunikasi, dan hentikan kebiasaan mempermainkan harga seenaknya. Karena ketika kepercayaan pelanggan hilang, tidak ada lagi paket atau penumpang yang mau menitipkan barangnya.
Dan sebagai catatan akhir, narasi ini ditulis berdasarkan kronologi yang disampaikan langsung oleh PongA2 melalui pesan pribadi di WhatsApp dan telah mendapatkan persetujuan penuh dari beliau untuk dijadikan bahan pembelajaran publik. Tujuan tulisan ini bukan untuk menuduh atau mempermalukan pihak mana pun, melainkan sebagai peringatan dan refleksi bersama agar praktik serupa tidak terulang di kemudian hari.
0 Komentar