:: HADIAH NATAL TERINDAH ::
Nasib Egar tidak sebaik hatinya. Dengan
pendidikannya yang rendah, pria berumur sekitar
30 tahun itu hanya seorang pekerja bangunan yang
miskin. Dan bagi seseorang yang hanya berjuang
hidup untuk melewati hari demi hari, Natal tidak
banyak berbeda dengan hari-hari lainnya,
karenanya apa yang terjadi pada suatu malam
Natal itu tidak banyak yang diingatnya.
Malam itu di seluruh negeri berlangsung
kemeriahan suasana Natal. Setiap orang
mempersiapkan diri menghadapi makan malam
yang berlimpah. Tapi di kantong Egar hanya
terdapat $10, jumlah yang pas-pasan untuk makan
malamnya dan tiket bis ke Baldwin, dimana dia
mungkin mendapatkan pekerjaan untuk ongkos
hidupnya selama beberapa berikutnya.
Maka menjelang malam, ketika lonceng dan lagu-
lagu Natal terdengar dimana-mana, dan senyum
dan salam Natal diucapkan tiap menit, Egar
menaikkan kerah bajunya dan menunggu
kedatangan bis pukul 20:00 yang akan
membawanya ke Baldwin. Salju turun deras. Suhu
jatuh pada tingkat yang menyakitkan dan perut
Egar mulai berbunyi karena lapar. Ia melihat jam di
stasiun, dan memutuskan untuk membeli
hamburger dan kentang goreng ukuran ekstra,
karena ia butuh banyak energi untuk memindahkan
salju sepanjang malam nanti.
"Lagipula," pikirnya, "sekarang adalah malam
Natal, setiap orang, bahkan orang seperti saya
sekalipun, harus makan sedikit lebih special dari
biasanya." Di tengah jalan ia melewati sebuah
bangunan raksasa, dimana sebuah pesta mewah
sedang berlangsung. Ia mengintip ke dalam
jendela. Ternyata itu adalah pesta kanak-kanak.
Ratusan murid taman kanak-kanak dengan baju
berwarna-warni bermain-main dengan begitu
riang. Orang tua mereka saling mengobrol satu
sama lain, tertawa keras dan saling olok. Sebuah
pohon terang raksasa terletak di tengah-tengah
ruangan, kerlap-kerlip lampunya memancar keluar
jendela dan mencapai puluhan mobil-mobil mewah
di pekarangan. Di bawah pohon terang terletak
ratusan hadiah-hadiah Natal dalam bungkus
berwarna-warni. Di atas beberapa meja raksasa
tersusun puluhan piring-piring yang berisi
bermacam-macam makanan dan minuman,
menyebabkan perut Egar berbunyi semakin keras.
Dan ia mendengar bunyi perut kosong di
sebelahnya. Ia menoleh, dan melihat seorang gadis
kecil, berjaket tipis, dan melihat ke dalam ruangan
dengan penuh perhatian. Umurnya sekitar 10
tahun. Ia tampak kotor dan tangannya gemetar.
"ya ampun, nona kecil", Egar bertanya dengan
pandangan tidak percaya, "udara begitu dingin.
Dimana orangtuamu?"
Gadis itu tidak bicara apa-apa. Ia hanya melirik
Egar sesaat, kemudian memperhatikan kembali
anak-anak kecil di dalam ruangan, yang kini
bertepuk tangan dengan riuh karena Sinterklas
masuk ke dalam ruangan.
"Sayang..., kau tidak bisa di dalam sana" Egar
menarik napas. Ia merasa begitu kasihan pada
gadis itu.
Keduanya kembali memperhatikan pesta dengan
diam-diam. Sinterklas sekarang membagi-bagikan
hadiah pada anak-anak, dan mereka meloncat ke
sana-sini, memamerkan hadiah-hadiah kepada
orang tua mereka yang terus tertawa.
Mata gadis itu bersinar. Jelas ia membayangkan
memegang salah satu hadiah itu, dan imajinasi itu
cukup menimbulkan secercah sinar di matanya.
Pada saat yang bersamaan Egar bisa mendengar
bunyi perutnya lagi. Egar tidak bisa lagi menahan
hatinya.
Ia memegang tangan gadis itu dan berkata "Mari,
akan saya belikan sebuah hadiah untukmu."
"Sungguh?", gadis itu bertanya dengan nada tidak
percaya.
"Ya. Tapi kita akan mengisi perut dulu."
Ia membawa gadis itu di atas bahunya dan
berjalan ke sebuah depot kecil. Tanpa berpikir
tentang tiket bisnya ia membeli 2 buah roti
sandwich, 2 bungkus kentang goreng dan 2 gelas
susu coklat. Sambil makan ia mencari tahu
tentang gadis itu. Namanya Ellis dan ia baru
kembali dari sebuah toko minuman dimana ibunya
bekerja paruh waktu sebagai kasir. Dia sedang
dalam perjalanan pulang ke rumah anak yatim
St.Carolus, sebuah sekolah kecil yang dibiayai
pemerintah untuk anak-anak miskin. Ibunya baru
memberinya sepotong roti tawar untuk makan
malamnya. Egar menyuruh gadis itu untuk
menyimpan rotinya untuk besok.
Sementara mereka bercakap-cakap, Egar terus
berpikir tentang hadiah apa yang bisa didapatnya
untuk Ellis. Ia kini hanya punya sekitar $5 di
kantongnya. Ia mengenal sopir bis, dan ia yakin
sopir itu akan setuju bila ia membayar bisnya kali
berikutnya. Tapi tidak banyak toko-toko yang buka
di saat ini, dan yang buka pun umumnya
menaikkan harga-harga mereka. Ia amat ragu-ragu
apakah ia bisa membeli sesuatu seharga $5.
Apapun yang terjadi, katanya pada dirinya sendiri,
saya akan memberi gadis ini hadiah, walaupun itu
kalung saya sendiri. Kalung yang melingkari
lehernya adalah milik terakhirnya yang paling
berharga. Kalung itu adalah 24 karat murni,
sepanjang kurang lebih 30 cm, seharga ratusan
dollar. Ibunya memberinya kalung itu beberapa
saat sebelum kematiannya.
Mereka mengunjungi beberapa toko tapi tak
satupun yang punya sesuatu seharga $5. Tepat
ketika mereka mulai putus asa, mereka melihat
sebuah toko kecil yang agak gelap di ujung jalan,
dengan tanda ‘BUKA’ di atas pintu.
Bergegas mereka masuk ke dalam. Pemilik toko
tersenyum melihat kedatangan mereka, dan dengan
ramah mempersilakan mereka melihat-lihat, tanpa
peduli akan baju-baju mereka yang lusuh. Mereka
mulai melihat barang-barang di balik kaca dan
mencari-cari sesuatu yang mereka sendiri belum
tahu. Mata Ellis bersinar melihat deretan boneka
beruang, deretan kotak pensil, dan semua barang-
barang kecil yang tidak pernah dimilikinya. Dan di
rak paling ujung, hampir tertutup oleh buku cerita,
mereka melihat seuntai kalung. Kening Egar
berkerut. Apakah itu kebetulan, atau Natal selalu
menghadirkan keajaiban, kalung bersinar itu
tampak begitu persis sama dengan kalung Egar.
Dengan suara takut-takut Egar meminta melihat
kalung itu. Pemilik toko, seorang pria tua dengan
cahaya terang di matanya dan jenggot yang lebih
memutih, mengeluarkan kalung itu dengan
tersenyum. Tangan Egar gemetar ketika ia
melepaskan kalungnya sendiri untuk dibandingkan
pada kalung itu.
"Ya Tuhan", Egar menggumam, "begitu sama dan
serupa."
Kedua kalung itu sama panjangnya, sama mode
rantainya, dan sama bentuk salib yang tertera
diatas bandulnya. Bahkan beratnya pun hampir
sama. Hanya kalung kedua itu jelas kalung imitasi.
Dibalik bandulnya tercetak: ‘Imitasi : Tembaga’.
"Samakah mereka?" Ellis bertanya dengan nada
kekanak-kanakan. Baginya kalung itu begitu indah
sehingga ia tidak berani menyentuhnya.
Sesungguhnya itu akan menjadi hadiah Natal yang
paling sempurna, kalau saja……kalau saja…….
“Berapa harganya, Pak?” tanya Egar dengan suara
serak karena lidahnya kering.
“Sepuluh dollar.” kata pemilik toko.
Hilang sudah harapan mereka. Perlahan ia
mengembalikan kalung itu. Pemilik toko melihat
kedua orang itu berganti-ganti, dan ia melihat Ellis
yang tidak pernah melepaskan matanya dari
kalung itu. Senyumnya timbul, dan ia bertanya
lembut, “Berapa yang anda punya, Pak ?”
Egar menggelengkan kepalanya, “Bahkan tidak
sampai $5.”
Senyum pemilik toko semakin mengembang
“Kalung itu milik kalian dengan harga $4.”
Baik Egar maupun Ellis memandang orang tua itu
dengan pandangan tidak percaya.
“Bukankah sekarang hari Natal?” Orang tua itu
tersenyum lagi, “Bahkan bila kalian berkenan, saya
bisa mencetak pesan apapun dibalik bandul itu.
Banyak pembeli saya yang ingin begitu. Tentu saja
untuk kalian juga gratis.”
“Benar-benar semangat Natal.” Pikir Egar dalam
hati.
Selama 5 menit orang tua itu mencetak pesan
berikut di balik bandul : 'Selamat Natal, Ellis.
Salam Sayang, Sinterklas'
Ketika semuanya beres, Egar merasa bahwa ia
memegang hadiah Natal yang paling sempurna
seumur hidupnya. Dengan tersenyum Egar
menyerahkan $4 pada orang tua itu dan
mengalungkan kalung itu ke leher Ellis. Ellis hampir
menangis karena bahagia.
“Terima kasih. Tuhan memberkati Anda, Pak.
Selamat Natal.” kata Egar kepada orang tua itu.
“Selamat Natal teman-temanku.” Jawab pemilik
toko, senantiasa tersenyum.
Mereka berdua keluar dari toko dengan bahagia.
Salju turun lebih deras tapi mereka merasakan
kehangatan di dalam tubuh. Bintang-bintang mulai
muncul di langit, dan sinar-sinar mereka membuat
salju di jalan raya kebiru-biruan. Egar mengendong
gadis itu di atas bahunya dan meloncat dari satu
langkah ke langkah yang lain. Ia belum pernah
merasa begitu puas dalam hidupnya. Melihat tawa
riang gadis itu, ia merasa telah mendapat hadiah
Natal yang paling memuaskan untuk dirinya
sendiri. Ellis, dengan perut kenyang dan hadiah
yang berharga di lehernya, merasakan kegembiraan
Natal yang pertama dalam hidupnya.
Mereka bermain dan tertawa selama setengah jam,
sebelum Egar melihat jam di atas gereja dan
memutuskan bahwa ia harus pergi ke stasiun bis.
Karena itu ia membawa gadis itu ketempat dimana
ia menemukannya.
“Sekarang pulanglah, Ellis. Hati-hati di jalan.
Tuhan memberkatimu selalu.”
“Kemana Anda pergi, Pak?” tanya Ellis pada orang
asing yang baik hati itu.
“Saya harus pergi bekerja. Ingat sedapat mungkin
bersekolahlah yang rajin. Selamat Natal, sayang.”
Ia mencium kening gadis itu, dan berdiri. Ellis
mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang
kecil, tersenyum dan berlari-lari kecil ke
asramanya. Kebahagiaan yang amat sangat
membuat gadis kecil itu lupa menanyakan nama
teman barunya. Egar merasa begitu hangat di
dalam hatinya. Ia tertawa puas, dan berjalan
menuju ke stasiun bis. Pengemudi bis
mengenalnya, dan sebelum Egar punya kesempatan
untuk bicara apapun, ia menunjuk salah satu
bangku yang masih kosong.
“Duduk di kursi kesukaanmu, saudaraku, dan
jangan cemaskan apapun. Sekarang malam Natal.”
Egar mengucapkan terima kasih, dan setelah saling
menukar salam Natal ia duduk di kursi
kesukaannya. Bis bergerak, dan Egar membelai
kalung yang ada di dalam kantongnya. Ia tidak
pernah mengenakan kalung itu di lehernya, tapi ia
punya kebiasaan untuk mengelus kalung itu setiap
saat. Dan kini ia merasakan perbedaan dalam
rabaannya. Keningnya berkerut ketika ia
mengeluarkan kalung itu dari kantongnya, dan
membaca sebuah kalimat yang baru diukir dibalik
bandulnya : 'Selamat Natal, Ellis Salam Sayang,
Sinterklas' . Saat itu ia baru sadar bahwa ia telah
keliru memberikan hadiah untuk Ellis……
***
Selama 12 tahun berikutnya hidup memperlakukan
Egar dengan amat keras. Dalam usahanya mencari
pekerjaan yang lebih baik, ia harus terus menerus
berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Akhirnya
ia bekerja sebagai pekerja bangunan di Marengo,
sekitar 1000 km dari kampung halamannya. Dan ia
masih belum bisa menemukan pekerjaan yang
cukup baik untuk makan lebih dari sekedar
makanan kecil atau kentang goreng. Karena
bekerja terlalu keras di bawah matahari dan hujan
salju, kesehatannya menurun drastis. Bahkan
sebelum umurnya mencapai 45 tahun, ia sudah
tampak begitu tua dan kurus. Suatu hari menjelang
Natal, Egar digotong ke rumah sakit karena
pingsan kecapaian. Hidup tampaknya akan berakhir
untuk Egar. Tanpa uang sepeserpun di kantong dan
sanak famili yang menjenguk, ia kini terbaring di
kamar paling suram di rumah sakit milik
pemerintah. Malam Natal itu, ketika setiap orang di
dunia menyanyikan lagu-lagu Natal, denyut nadi
Egar melemah, dan ia jatuh ke dalam alam tak
sadar.
Direktur rumah sakit itu, yang menyempatkan diri
menyalami pasien-pasiennya, sedang bersiap-siap
untuk kembali ke pesta keluarganya ketika ia
melihat pintu gudang terbuka sedikit. Ia memeriksa
buku di tangannya dan mengerutkan keningnya.
Ruang itu seharusnya kosong. Dia mengetuk pintu,
tidak ada jawaban. Dia membuka pintu itu dan
menyalakan lampu. Hal pertama yang dilihatnya
adalah seorang tua kurus yang tergeletak di atas
ranjang, di sebelah sapu-sapu dan kain lap. Tapi
perhatiannya tersedot pada sesuatu yang bersinar
suram di dadanya, yang memantulkan sinar lampu
yang menerobos masuk lewat pintu yang terbuka.
Dia mendekat dan mulai melihat benda yang
bersinar itu, yaitu bandul kalung yang sudah
kehitam-hitaman karena kualitas logam yang tidak
baik. Tapi sesuatu pada kalung itu membuat
hatinya berdebar. Dengan hati-hati ia memeriksa
bandul itu dan membaca kalimat yang tercetak di
baliknya. 'Selamat Natal, Ellis Salam Sayang,
Sinterklas'
Air mata turun di pipi Ellis. Inilah orang yang paling
diharapkan untuk bertemu seumur hidupnya. Inilah
orang yang membuat masa kanak-kanaknya begitu
tak terlupakan hanya dengan 1 malam saja, dan
inilah orang yang membuatnya percaya bahwa
sesungguhnya Sinterklas memang ada di dunia ini.
Dia memeriksa denyut nadi Egar dan mengangguk.
Tangannya yang terlatih memberitahu harapan
masih ada. Ia memanggil kamar darurat, dan
bergerak cepat ke kantornya. Malam Natal yang
sunyi itu dipecahkan dengan kesibukan mendadak
dan bunyi detak langkah-langkah kaki puluhan
perawat dan dokter jaga.
“Jangan kuatir, Pak…. Siapapun namaA. Ellis disini
sekarang, dan Ellis akan mengurus Sinterklasnya
yang tersayang.”
Dia menyentuh kalung di lehernya. Rantai emas itu
bersinar begitu terang sehingga seisi ruangan
terasa hangat walaupun salju mulai menderas
diluar. Ia merasa begitu kuat, perasaan yang
didapatnya tiap ia menyentuh kalung itu. Malam
ini dia tidak harus bertanya-tanya lagi karena ia
baru saja menemukan orang yang memberinya
hadiah Natal yang paling sempurna sepanjang
segala jaman.
soldomi adalah blog yang menyajikan berbagai informasi yang bisa di nikmati oleh semua kalangan, di sini kita bisa menemukan berbagai informasi yang beragam .mulai dari segi budaya sampi dengan kuliner dan wisata .
Jumat, 26 Desember 2014
HADIA NATAL
Kisah Di hari natal
:: Kisah Mengharukan di Hari Natal ::
Ada seorang bocah kelas 4 SD di suatu daerah di
Milaor Camarine Sur, Filipina, yang setiap hari
mengambil rute melintasi daerah tanah yang
berbatuan dan menyeberangi jalan raya yang
berbahaya dimana banyak kendaraan yang melaju
kencang dan tidak beraturan.
Setiap kali berhasil menyebrangi jalan raya
tersebut, bocah ini mampir sebentar ke Gereja tiap
pagi hanya untuk menyapa Tuhan, sahabatnya.
Tindakannya ini selama ini diamati oleh seorang
Pendeta yang merasa terharu menjumpai sikap
bocah yang lugu dan beriman tersebut.
“Bagaimana kabarmu, Andy? Apakah kamu akan
ke Sekolah?”
“Ya, Bapa Pendeta!” balas Andy dengan
senyumnya yang menyentuh hati Pendeta tersebut.
Dia begitu memperhatikan keselamatan Andy
sehingga suatu hari dia berkata kepada bocah
tersebut, “Jangan menyebrang jalan raya sendirian,
setiap kali pulang sekolah, kamu boleh mampir ke
Gereja dan saya akan memastikan kamu pulang ke
rumah dengan selamat.”
“Terima kasih, Bapa Pendeta.” “Kenapa kamu tidak
pulang sekarang? Apakah kamu tinggal di Gereja
setelah pulang sekolah?” “Aku hanya ingin
menyapa kepada Tuhan.. sahabatku.”
Dan Pendeta tersebut meninggalkan Andy untuk
melewatkan waktunya di depan altar berbicara
sendiri, tetapi pastur tersebut bersembunyi di balik
altar untuk mendengarkan apa yang dibicarakan
Andy kepada Bapa di Surga.
“Engkau tahu Tuhan Yesus, ujian matematikaku
hari ini sangat buruk, tetapi aku tidak mencontek
walaupun temanku melakukannya. Aku makan satu
kue dan minum airku. Ayahku mengalami musim
paceklik dan yang bisa kumakan hanya kue ini.
Terima kasih buat kue ini, Tuhan! Tadi aku melihat
anak kucing malang yang kelaparan dan aku
memberikan kueku yang terakhir buatnya.. lucunya,
aku jadi tidak begitu lapar. Lihat ini selopku yang
terakhir. Aku mungkin harus berjalan tanpa sepatu
minggu depan. Engkau tahu sepatu ini akan rusak,
tapi tidak apa-apa……. paling tidak aku tetap dapat
pergi ke sekolah. Orang-orang berbicara bahwa
kami akan mengalami musim panen yang susah
bulan ini, bahkan beberapa dari temanku sudah
berhenti sekolah, tolong Bantu mereka supaya bisa
bersekolah lagi. Tolong Tuhan Yesus…….
Oh, ya..Engkau tahu, Tuhan….. kalau Ibu
memukulku lagi. Ini memang menyakitkan, tapi aku
tahu sakit ini akan hilang, paling tidak aku masih
punya seorang Ibu. Tuhan Yesus, Engkau mau lihat
lukaku??? Aku tahu Engkau dapat
menyembuhkannya, disini..disini.aku rasa Engkau
tahu yang ini kan….??? Tolong jangan marahi
ibuku, ya…..?? dia hanya sedang lelah dan kuatir
akan kebutuhan makan dan biaya sekolahku..itulah
mengapa dia memukul aku.
Oh, Tuhan yesus..aku rasa, aku sedang jatuh cinta
saat ini……. Ada seorang gadis yang sangat cantik
dikelasku, namanya Anita. menurut Engkau,
apakah dia akan menyukaiku??? Bagaimanapun
juga paling tidak aku tahu Engkau tetap
menyukaiku karena aku tidak usah menjadi
siapapun hanya untuk menyenangkanMu. Engkau
adalah sahabatku. Oh ya……ulang tahunMu tinggal
dua hari lagi, apakah Engkau gembira??? Tunggu
saja sampai Engkau lihat, aku punya hadiah
untukMu. Tapi ini kejutan bagiMu. Aku berharap
Engkau menyukainya. Oooops..aku harus pergi
sekarang.” Kemudian Andy segera berdiri dan
memanggil Pendeta .
“Bapa Pendeta..Bapa Pendeta..aku sudah selesai
bicara dengan sahabatku, Anda bisa menemaniku
menyebrang jalan sekarang!” Kegiatan tersebut
berlangsung setiap hari, Andy tidak pernah absen
sekalipun. Pendeta Agaton berbagi cerita ini
kepada jemaat di Gerejanya setiap hari Minggu
karena dia belum pernah melihat suatu iman dan
kepercayaan yang murni kepada Tuhan.. Suatu
pandangan positif dalam situasi yang negatif.
Pada hari Natal, Pendeta Agaton jatuh sakit
sehingga tidak bisa memimpin gereja dan dirawat
di rumah sakit. Gereja tersebut diserahkan kepada
4 wanita tua yang tidak pernah tersenyum dan
selalu menyalahkan segala sesuatu yang orang lain
perbuat.
Mereka juga mengutuki orang yang menyinggung
mereka.
Ketika mereka sedang berdoa, Andy pun tiba di
Gereja tersebut usai menghadiri pesta Natal di
sekolahnya, dan menyapa “Halo Tuhan..Aku..”
“Kurang ajar kamu, bocah!!! Tidakkah kamu lihat
kalau kami sedang berdoa???!!! Keluar, kamu!!!!!”
Andy begitu terkejut, ”Dimana Bapa Pendeta
Agaton..??Seharusnya dia membantuku
menyeberangi jalan raya. dia selalu menyuruhku
untuk mampir lewat pintu belakang Gereja. Tidak
hanya itu, aku juga harus menyapa Tuhan Yesus,
karena hari ini hari ulang tahunNya, akupun punya
hadiah untukNya..”
Ketika Andy mau mengambil hadiah tersebut dari
dalam bajunya, seorang dari keempat wanita itu
menarik kerahnya dan mendorongnya keluar
Gereja. “Keluar kamu, bocah! Kamu akan
mendapatkannya!!!” Andy tidak punya pilihan lain
kecuali sendirian menyebrangi jalan raya yang
berbahaya tersebut di depan Gereja.
……Lalu dia menyeberang, tiba-tiba sebuah bus
datang melaju dengan kencang – di situ ada
tikungan yang tidak terlihat pandangan. Andy
melindungi hadiah tersebut di dalam saku bajunya,
sehingga dia tidak melihat datangnya bus tersebut.
Waktunya hanya sedikit untuk menghindardan
Andypun tewas seketika……….
Orang-orang disekitarnya berlarian dan
mengelilingi tubuh bocah malang tersebut yang
sudah tidak bernyawa lagi. Tiba-tiba, entah
muncul dari mana ada seorang pria berjubah putih
dengan wajah yang halus dan lembut, namun
dengan penuh airmata datang dan memeluk bocah
malang tersebut. Dia menangis.
Orang-orang penasaran dengan dirinya dan
bertanya,”Maaf tuan..apakah anda keluarga dari
bocah yang malang ini? Apakah anda
mengenalnya?” Tetapi pria tersebut dengan hati
yang berduka karena penderitaan yang begitu
dalam berkata,”Dia adalah sahabatku.” Hanya
itulah yang dikatakan. Dia mengambil bungkusan
hadiah dari dalam saku baju bocah malang
tersebut dan menaruhnya di dadanya. Dia lalu
berdiri dan membawa pergi tubuh bocah tersebut,
kemudian keduanya menghilang. Orang-orang yang
ada disekitar tersebut semakin penasaran dan
takjub..
Di malam Natal, Pendeta Agaton menerima berita
yang sangat mengejutkan. Diapun berkunjung ke
rumah Andy untuk memastikan pria misterius
berjubah putih tersebut. Pendeta itu bertemu
dengan kedua orangtua Andy. “Bagaimana anda
mengetahui putra anda telah meninggal?” “Seorang
pria berjubah putih yang membawanya kemari.”
Ucap ibu Andy terisak.
“Apa katanya?” Ayah Andy berkata,”Dia tidak
mengucapkan sepatah katapun. Dia sangat
berduka. Kami tidak mengenalnya namun dia
terlihat sangat kesepian atas meninggalnya Andy,
sepertinya Dia begitu mengenal Andy dengan baik.
Tapi ada suatu kedamaian yang sulit untuk
dijelaskan mengenai dirinya. Dia menyerahkan
anak kami dan tersenyum lembut. Dia
menyibakkan rambut Andy dari wajahnya dan
memberikan kecupan di keningnya, kemudian Dia
membisikkan sesuatu.
“Apa yang dikatakan?” “Dia berkata kepada
putraku..” ujar sang Ayah. “Terima kasih buat
kadonya. Aku akan berjumpa denganmu. Engkau
akan bersamaku.” Dan sang ayah melanjutkan,
“Anda tahu kemudian semuanya itu terasa begitu
indah.. Aku menangis tapi tidak tahu mengapa
bisa demikian. Yang aku tahu, aku menangis
karena bahagia. Aku tidak dapat menjelaskannya
Bapa Pendeta, tetapi ketika dia meninggalkan
kami, ada suatu kedamaian yang memenuhi hati
kami, aku merasakan kasihnya yang begitu dalam
di hatiku.. Aku tidak dapat melukiskan sukacita
dalam hatiku. aku tahu, putraku sudah berada di
Surga sekarang. Tapi tolong Bapa Pendeta
.. Siapakah pria ini yang selalu bicara dengan
putraku setiap hari di Gerejamu? Anda seharusnya
mengetahui karena anda selalu di sana setiap hari,
kecuali pada saat putraku meninggal.
Pendeta Agaton tiba-tiba merasa air matanya
menetes dipipinya, dengan lutut gemetar dia
berbisik,”Dia tidak berbicara kepada siapa-siapa…
kecuali dengan Tuhan.”
Kisah yang luar biasa, mengingatkan kita semua
untuk terus mengucap syukur kepada Tuhan,
karena seringkali kita lupa Bahwa Tuhan slalu
“Peduli” dengan kita, apapun keadaan kita hari
ini…satu hal, kita semua adalah sahabatnya, jika
kita mencintaiNya.
God Bless You All!
BUKAN UNTUK MARAH
:: Bukan Untuk Marah ::
Ada seorang tuan tanah yang menyukai bunga
anggrek. Pada saat ketika hendak pergi berkelana,
dia berpesan kepada bawahannya, harus hati-hati
merawat bunga anggreknya. Selama kepergiannya,
bawahannya dengan teliti memelihara bunga-
bunga anggrek tersebut. Namun, pada suatu hari,
ketika sedang menyiram bunga anggrek tersebut,
tanpa sengaja menyenggol rak-rak pohon sehingga
semua pohon anggrek berjatuhan & pot anggrek itu
pecah berantakan & pohon anggrek berserakan.
Para bawahannya ketakutan, menunggu tuannya
pulang & meminta maaf sambil menunggu
hukuman yang akan mereka terima. Setelah sang
tuan pulang
mendengar kabar itu, lalu memanggil para
bawahannya, dia tidak marah kepada mereka,
bahkan berkata, "Saya menanam bunga anggrek,
alasan pertama adalah untuk dipersembahkan
kepada orang yang suka melihatnya & yang kedua
adalah untuk memperindah lingkungan di daerah
ini, bukan demi untuk marah, saya menanam
pohon anggrek ini."
Perkataan tuan ini sungguh benar, "Bukan demi
untuk marah, maka menanam pohon anggrek."
Dia bisa demikian toleran, karena walaupun
menyukai bunga anggrek, tetapi di hatinya tidak
ada rasa keterikatan akan bunga anggrek. Oleh
sebab itu, ketika dia kehilangan bunga-bunga
anggrek tersebut, tidak menimbulkan kemarahan
dalam hatinya. Sedangkan kita, dalam kehidupan
kita, sering terlalu banyak kekhawatiran, terlalu
peduli pada kehilangan, mendapatkan sehingga
menyebabkan keadaan emosi kita tidak stabil. Kita
merasa tidak bahagia. Maka seandainya kita
sedang marah, kita bisa berpikir sejenak:
•» "Bukan demi marah maka kita menjadi sahabat."
•» "Bukan demi marah maka kita menjadi suami
istri."
•» "Bukan demi marah maka kita melahirkan &
mendidik anak."
•» "Bukan demi marah maka kita menjadi atasan
dan pemimpin."
•» "Bukan demi marah maka kita menjadi sakit dan
tidak berdaya."
Maka kita bisa mencairkan rasa marah &
kesusahan yang ada dalam hati kita & merubahnya
menjadi rasa damai. Setelah membaca artikel ini,
saat emosi Anda tinggi dan hendak bertengkar
(dengan siapapun juga), ingatlah perjumpaan
kalian di dunia, bukan untuk marah. Hidup adalah
Pilihan.
Gue yang natalan situ yang ribut
" GUE YANG NATALAN SITU YANG RIBUT "
Ada ungkapan yang menarik dari Menteri
Agama, seperti yang dikutip oleh
id.berita.yahoo.com; menurut Menteri Agama,
"Kami memohon umat Kristiani berjiwa besar
melihat realitas ini. Sebab di internal umat
Islam beragam pandangannya.
Di internal umat Islam pandangan terkait
mengucapkan 'Selamat Hari Raya Natal' masih
beragam. Ada sebagian besar tidak
mempersoalkan ucapan kepada umat Kristiani,
tetapi ada yang mengharamkan.
Saya pikir semua pihak harus saling
menghargai dan menghormati pandangan
masing-masing. Jadi kalau ada umat Islam
tidak mengucapkan itu katakan sampai
mengucapkan haram itu bagian dari
pemahaman.
Itu harus dihormati dan dihargai. Sebagaimana,
kita menghormati dan menghargai yang tidak
mempersoalkan."
Bagi saya, dan banyak umat Kristen di
Nusantara, tidak penting Haram dan Halalnya
seorang Muslim mengucapkan Natal kepada
rekan, keluarga, sanak, atau bahkan suami-
isteri-anak mereka yang merayakan Natal.
Bagi seorang Kristen, tidak masalah baginya
mendapat ucapan salam atau selamat
selamat, termasuk ucapan Selamat Natal dari
orang lain; yang penting baginya adalah seperti
pesan Yesus di bawah ini,
Apabila kamu hanya memberi salam
kepada saudara-saudaramu saja,
apakah lebihnya dari pada perbuatan
orang lain? Bukankah orang yang
tidak mengenal Allah pun berbuat
demikian
Apabila kamu masuk rumah orang,
berilah salam kepada mereka, …
salammu itu turun ke atasnya.
Berilah salam seorang kepada yang
lain, …. dan saling mendahului dalam
memberi hormat, … .
Janganlah kita gila hormat; hormat
kepada orang yang berhak menerima
hormat. Hormatilah semua orang,
kasihilah saudara-saudaramu.
Rangkaian kalimat di atas merupakan bagian
teks Kitab Suci, yang bersifat pesan moral –
etika dalam kerangka hubungan antara
manusia atau sosial.
Dalam kerangka itu pula, pada diri setiap
Kristiani, ada semacam keharusan – kewajiban
etis pada dirinya, agar mengucapkan Salam,
Shalom, Eirene, hormat, kepada semua orang.
Dengan demikian Umat Kristiani Tak Berharap,
Meminta, Menuntut Ucapan Selamat Natal dari
Siapapun
Memberi – mengucapkan Selamat Natal
tersebut, merupakan panggilan nurani dan
suara hati. Boleh dan tidak bolehnya – ya
atau pun tidaknya, tergantung input yang
masuk ke/dalam nurani masing-masing orang.
Silahkan, anda memberi atau pun tidak
ucapkan Selamat Natal …. karena tergantung
dari dalam jiwa dan rohanimu; bukan karena
orang yang akan diberi ucapan tersebut.
Bagi umat Kristen, pada umumnya, mereka
tidak pernah mempermasalahkan dirimu –
diriku memberi-mengucapkan Selamat Natal
ke/pada dirinya(mereka). Karena memang,
bagi seorang Kristiani ia tak boleh meminta
atau menuntut ucap dan ucapan selamat,
shalom, tabe,’ eirene, dan kata-kata sejenisnya
dari siapa pun juga; namun ia wajib memberi
ucapan selamat semua orang.
Jadi, Tuan Menteri Agama tak perlu memberi
pernyataan agar umat Kristen berjiwa besar
jika tak mendapat ucapan Natal; emangnya
kami butuh!? Tidak, Pak Menteri.
Oleh sebab itu, Wahai Tuan Menteri, "nguruslah
mereka-mereka yang sibuk bertengkar tentang
boleh tidaknya Selamat Natal; mereka yang
perlu belajar dan diajari bagaimana menghargai
serta menghormati iman orang lain; didiklah
mereka yang selalu usil dengan hal-hal diimani
oleh orang lain."
Coba Pak Menteri lihat di Media Sosial, Cetak,
Pemberitaan, adakah ucapan dan pernyataan
pemimpin umat, Gereja, atau tokoh agama
Kristen, yang "meminta agar orang lain
memberi ucapan selamat Natal ke/pada umat
Kristen!? Adakah permintaan yang keluar dari
mulut mereka agar semua umat beragama dan
tak beragama memberi Salam dan Ucapan
Natal ke/pada Si Kristen dan Sang Katolik!?
Tidak ada, sekali lagi tidak ada; dan sekali lagi,
tidak ada seperti itu.
Pak Menteri, justru yang ada adalah, "Gue yang
Natalan, sana yang ribut; dan mengajak orang
lain ikut tidak memberi ucapan Selamat Natal.
Kemudian, di sana juga yang saling debat,
boleh tidaknya dan haram halalnya ucapkan
Natal." Sementara, umat Kristen dan Katolik,
yang (akan) merayakan Natal, cuma menjadi
penonton setia; setia menonton perdebatan
antara sesama mereka di sana."
So, janganlah "bertengkar" tentang boleh tidak
ucapkan Natal, karena itu tak bermanfaat dan
tak berguna, malah hanya menunjukkan
"ketidaksukaan" terhadap hal-hal yang ada
pada orang lain; dan selain itu, memalukan.
Memalukan karena, "Gue yang Natalan, malah
lue yang ribut!"
SUMBER : KOMPASIANA .