" GUE YANG NATALAN SITU YANG RIBUT "
Ada ungkapan yang menarik dari Menteri
Agama, seperti yang dikutip oleh
id.berita.yahoo.com; menurut Menteri Agama,
"Kami memohon umat Kristiani berjiwa besar
melihat realitas ini. Sebab di internal umat
Islam beragam pandangannya.
Di internal umat Islam pandangan terkait
mengucapkan 'Selamat Hari Raya Natal' masih
beragam. Ada sebagian besar tidak
mempersoalkan ucapan kepada umat Kristiani,
tetapi ada yang mengharamkan.
Saya pikir semua pihak harus saling
menghargai dan menghormati pandangan
masing-masing. Jadi kalau ada umat Islam
tidak mengucapkan itu katakan sampai
mengucapkan haram itu bagian dari
pemahaman.
Itu harus dihormati dan dihargai. Sebagaimana,
kita menghormati dan menghargai yang tidak
mempersoalkan."
Bagi saya, dan banyak umat Kristen di
Nusantara, tidak penting Haram dan Halalnya
seorang Muslim mengucapkan Natal kepada
rekan, keluarga, sanak, atau bahkan suami-
isteri-anak mereka yang merayakan Natal.
Bagi seorang Kristen, tidak masalah baginya
mendapat ucapan salam atau selamat
selamat, termasuk ucapan Selamat Natal dari
orang lain; yang penting baginya adalah seperti
pesan Yesus di bawah ini,
Apabila kamu hanya memberi salam
kepada saudara-saudaramu saja,
apakah lebihnya dari pada perbuatan
orang lain? Bukankah orang yang
tidak mengenal Allah pun berbuat
demikian
Apabila kamu masuk rumah orang,
berilah salam kepada mereka, …
salammu itu turun ke atasnya.
Berilah salam seorang kepada yang
lain, …. dan saling mendahului dalam
memberi hormat, … .
Janganlah kita gila hormat; hormat
kepada orang yang berhak menerima
hormat. Hormatilah semua orang,
kasihilah saudara-saudaramu.
Rangkaian kalimat di atas merupakan bagian
teks Kitab Suci, yang bersifat pesan moral –
etika dalam kerangka hubungan antara
manusia atau sosial.
Dalam kerangka itu pula, pada diri setiap
Kristiani, ada semacam keharusan – kewajiban
etis pada dirinya, agar mengucapkan Salam,
Shalom, Eirene, hormat, kepada semua orang.
Dengan demikian Umat Kristiani Tak Berharap,
Meminta, Menuntut Ucapan Selamat Natal dari
Siapapun
Memberi – mengucapkan Selamat Natal
tersebut, merupakan panggilan nurani dan
suara hati. Boleh dan tidak bolehnya – ya
atau pun tidaknya, tergantung input yang
masuk ke/dalam nurani masing-masing orang.
Silahkan, anda memberi atau pun tidak
ucapkan Selamat Natal …. karena tergantung
dari dalam jiwa dan rohanimu; bukan karena
orang yang akan diberi ucapan tersebut.
Bagi umat Kristen, pada umumnya, mereka
tidak pernah mempermasalahkan dirimu –
diriku memberi-mengucapkan Selamat Natal
ke/pada dirinya(mereka). Karena memang,
bagi seorang Kristiani ia tak boleh meminta
atau menuntut ucap dan ucapan selamat,
shalom, tabe,’ eirene, dan kata-kata sejenisnya
dari siapa pun juga; namun ia wajib memberi
ucapan selamat semua orang.
Jadi, Tuan Menteri Agama tak perlu memberi
pernyataan agar umat Kristen berjiwa besar
jika tak mendapat ucapan Natal; emangnya
kami butuh!? Tidak, Pak Menteri.
Oleh sebab itu, Wahai Tuan Menteri, "nguruslah
mereka-mereka yang sibuk bertengkar tentang
boleh tidaknya Selamat Natal; mereka yang
perlu belajar dan diajari bagaimana menghargai
serta menghormati iman orang lain; didiklah
mereka yang selalu usil dengan hal-hal diimani
oleh orang lain."
Coba Pak Menteri lihat di Media Sosial, Cetak,
Pemberitaan, adakah ucapan dan pernyataan
pemimpin umat, Gereja, atau tokoh agama
Kristen, yang "meminta agar orang lain
memberi ucapan selamat Natal ke/pada umat
Kristen!? Adakah permintaan yang keluar dari
mulut mereka agar semua umat beragama dan
tak beragama memberi Salam dan Ucapan
Natal ke/pada Si Kristen dan Sang Katolik!?
Tidak ada, sekali lagi tidak ada; dan sekali lagi,
tidak ada seperti itu.
Pak Menteri, justru yang ada adalah, "Gue yang
Natalan, sana yang ribut; dan mengajak orang
lain ikut tidak memberi ucapan Selamat Natal.
Kemudian, di sana juga yang saling debat,
boleh tidaknya dan haram halalnya ucapkan
Natal." Sementara, umat Kristen dan Katolik,
yang (akan) merayakan Natal, cuma menjadi
penonton setia; setia menonton perdebatan
antara sesama mereka di sana."
So, janganlah "bertengkar" tentang boleh tidak
ucapkan Natal, karena itu tak bermanfaat dan
tak berguna, malah hanya menunjukkan
"ketidaksukaan" terhadap hal-hal yang ada
pada orang lain; dan selain itu, memalukan.
Memalukan karena, "Gue yang Natalan, malah
lue yang ribut!"
SUMBER : KOMPASIANA .
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terima kasih atas kunjungannya .semoga dapat bermamaaf . kritik dan saran sangat perlu untuk membangun blog ini.