Jumat, 26 Desember 2014

HADIA NATAL

:: HADIAH NATAL TERINDAH ::
Nasib Egar tidak sebaik hatinya. Dengan
pendidikannya yang rendah, pria berumur sekitar
30 tahun itu hanya seorang pekerja bangunan yang
miskin. Dan bagi seseorang yang hanya berjuang
hidup untuk melewati hari demi hari, Natal tidak
banyak berbeda dengan hari-hari lainnya,
karenanya apa yang terjadi pada suatu malam
Natal itu tidak banyak yang diingatnya.
Malam itu di seluruh negeri berlangsung
kemeriahan suasana Natal. Setiap orang
mempersiapkan diri menghadapi makan malam
yang berlimpah. Tapi di kantong Egar hanya
terdapat $10, jumlah yang pas-pasan untuk makan
malamnya dan tiket bis ke Baldwin, dimana dia
mungkin mendapatkan pekerjaan untuk ongkos
hidupnya selama beberapa berikutnya.
Maka menjelang malam, ketika lonceng dan lagu-
lagu Natal terdengar dimana-mana, dan senyum
dan salam Natal diucapkan tiap menit, Egar
menaikkan kerah bajunya dan menunggu
kedatangan bis pukul 20:00 yang akan
membawanya ke Baldwin. Salju turun deras. Suhu
jatuh pada tingkat yang menyakitkan dan perut
Egar mulai berbunyi karena lapar. Ia melihat jam di
stasiun, dan memutuskan untuk membeli
hamburger dan kentang goreng ukuran ekstra,
karena ia butuh banyak energi untuk memindahkan
salju sepanjang malam nanti.
"Lagipula," pikirnya, "sekarang adalah malam
Natal, setiap orang, bahkan orang seperti saya
sekalipun, harus makan sedikit lebih special dari
biasanya." Di tengah jalan ia melewati sebuah
bangunan raksasa, dimana sebuah pesta mewah
sedang berlangsung. Ia mengintip ke dalam
jendela. Ternyata itu adalah pesta kanak-kanak.
Ratusan murid taman kanak-kanak dengan baju
berwarna-warni bermain-main dengan begitu
riang. Orang tua mereka saling mengobrol satu
sama lain, tertawa keras dan saling olok. Sebuah
pohon terang raksasa terletak di tengah-tengah
ruangan, kerlap-kerlip lampunya memancar keluar
jendela dan mencapai puluhan mobil-mobil mewah
di pekarangan. Di bawah pohon terang terletak
ratusan hadiah-hadiah Natal dalam bungkus
berwarna-warni. Di atas beberapa meja raksasa
tersusun puluhan piring-piring yang berisi
bermacam-macam makanan dan minuman,
menyebabkan perut Egar berbunyi semakin keras.
Dan ia mendengar bunyi perut kosong di
sebelahnya. Ia menoleh, dan melihat seorang gadis
kecil, berjaket tipis, dan melihat ke dalam ruangan
dengan penuh perhatian. Umurnya sekitar 10
tahun. Ia tampak kotor dan tangannya gemetar.
"ya ampun, nona kecil", Egar bertanya dengan
pandangan tidak percaya, "udara begitu dingin.
Dimana orangtuamu?"
Gadis itu tidak bicara apa-apa. Ia hanya melirik
Egar sesaat, kemudian memperhatikan kembali
anak-anak kecil di dalam ruangan, yang kini
bertepuk tangan dengan riuh karena Sinterklas
masuk ke dalam ruangan.
"Sayang..., kau tidak bisa di dalam sana" Egar
menarik napas. Ia merasa begitu kasihan pada
gadis itu.
Keduanya kembali memperhatikan pesta dengan
diam-diam. Sinterklas sekarang membagi-bagikan
hadiah pada anak-anak, dan mereka meloncat ke
sana-sini, memamerkan hadiah-hadiah kepada
orang tua mereka yang terus tertawa.
Mata gadis itu bersinar. Jelas ia membayangkan
memegang salah satu hadiah itu, dan imajinasi itu
cukup menimbulkan secercah sinar di matanya.
Pada saat yang bersamaan Egar bisa mendengar
bunyi perutnya lagi. Egar tidak bisa lagi menahan
hatinya.
Ia memegang tangan gadis itu dan berkata "Mari,
akan saya belikan sebuah hadiah untukmu."
"Sungguh?", gadis itu bertanya dengan nada tidak
percaya.
"Ya. Tapi kita akan mengisi perut dulu."
Ia membawa gadis itu di atas bahunya dan
berjalan ke sebuah depot kecil. Tanpa berpikir
tentang tiket bisnya ia membeli 2 buah roti
sandwich, 2 bungkus kentang goreng dan 2 gelas
susu coklat. Sambil makan ia mencari tahu
tentang gadis itu. Namanya Ellis dan ia baru
kembali dari sebuah toko minuman dimana ibunya
bekerja paruh waktu sebagai kasir. Dia sedang
dalam perjalanan pulang ke rumah anak yatim
St.Carolus, sebuah sekolah kecil yang dibiayai
pemerintah untuk anak-anak miskin. Ibunya baru
memberinya sepotong roti tawar untuk makan
malamnya. Egar menyuruh gadis itu untuk
menyimpan rotinya untuk besok.
Sementara mereka bercakap-cakap, Egar terus
berpikir tentang hadiah apa yang bisa didapatnya
untuk Ellis. Ia kini hanya punya sekitar $5 di
kantongnya. Ia mengenal sopir bis, dan ia yakin
sopir itu akan setuju bila ia membayar bisnya kali
berikutnya. Tapi tidak banyak toko-toko yang buka
di saat ini, dan yang buka pun umumnya
menaikkan harga-harga mereka. Ia amat ragu-ragu
apakah ia bisa membeli sesuatu seharga $5.
Apapun yang terjadi, katanya pada dirinya sendiri,
saya akan memberi gadis ini hadiah, walaupun itu
kalung saya sendiri. Kalung yang melingkari
lehernya adalah milik terakhirnya yang paling
berharga. Kalung itu adalah 24 karat murni,
sepanjang kurang lebih 30 cm, seharga ratusan
dollar. Ibunya memberinya kalung itu beberapa
saat sebelum kematiannya.
Mereka mengunjungi beberapa toko tapi tak
satupun yang punya sesuatu seharga $5. Tepat
ketika mereka mulai putus asa, mereka melihat
sebuah toko kecil yang agak gelap di ujung jalan,
dengan tanda ‘BUKA’ di atas pintu.
Bergegas mereka masuk ke dalam. Pemilik toko
tersenyum melihat kedatangan mereka, dan dengan
ramah mempersilakan mereka melihat-lihat, tanpa
peduli akan baju-baju mereka yang lusuh. Mereka
mulai melihat barang-barang di balik kaca dan
mencari-cari sesuatu yang mereka sendiri belum
tahu. Mata Ellis bersinar melihat deretan boneka
beruang, deretan kotak pensil, dan semua barang-
barang kecil yang tidak pernah dimilikinya. Dan di
rak paling ujung, hampir tertutup oleh buku cerita,
mereka melihat seuntai kalung. Kening Egar
berkerut. Apakah itu kebetulan, atau Natal selalu
menghadirkan keajaiban, kalung bersinar itu
tampak begitu persis sama dengan kalung Egar.
Dengan suara takut-takut Egar meminta melihat
kalung itu. Pemilik toko, seorang pria tua dengan
cahaya terang di matanya dan jenggot yang lebih
memutih, mengeluarkan kalung itu dengan
tersenyum. Tangan Egar gemetar ketika ia
melepaskan kalungnya sendiri untuk dibandingkan
pada kalung itu.
"Ya Tuhan", Egar menggumam, "begitu sama dan
serupa."
Kedua kalung itu sama panjangnya, sama mode
rantainya, dan sama bentuk salib yang tertera
diatas bandulnya. Bahkan beratnya pun hampir
sama. Hanya kalung kedua itu jelas kalung imitasi.
Dibalik bandulnya tercetak: ‘Imitasi : Tembaga’.
"Samakah mereka?" Ellis bertanya dengan nada
kekanak-kanakan. Baginya kalung itu begitu indah
sehingga ia tidak berani menyentuhnya.
Sesungguhnya itu akan menjadi hadiah Natal yang
paling sempurna, kalau saja……kalau saja…….
“Berapa harganya, Pak?” tanya Egar dengan suara
serak karena lidahnya kering.
“Sepuluh dollar.” kata pemilik toko.
Hilang sudah harapan mereka. Perlahan ia
mengembalikan kalung itu. Pemilik toko melihat
kedua orang itu berganti-ganti, dan ia melihat Ellis
yang tidak pernah melepaskan matanya dari
kalung itu. Senyumnya timbul, dan ia bertanya
lembut, “Berapa yang anda punya, Pak ?”
Egar menggelengkan kepalanya, “Bahkan tidak
sampai $5.”
Senyum pemilik toko semakin mengembang
“Kalung itu milik kalian dengan harga $4.”
Baik Egar maupun Ellis memandang orang tua itu
dengan pandangan tidak percaya.
“Bukankah sekarang hari Natal?” Orang tua itu
tersenyum lagi, “Bahkan bila kalian berkenan, saya
bisa mencetak pesan apapun dibalik bandul itu.
Banyak pembeli saya yang ingin begitu. Tentu saja
untuk kalian juga gratis.”
“Benar-benar semangat Natal.” Pikir Egar dalam
hati.
Selama 5 menit orang tua itu mencetak pesan
berikut di balik bandul : 'Selamat Natal, Ellis.
Salam Sayang, Sinterklas'
Ketika semuanya beres, Egar merasa bahwa ia
memegang hadiah Natal yang paling sempurna
seumur hidupnya. Dengan tersenyum Egar
menyerahkan $4 pada orang tua itu dan
mengalungkan kalung itu ke leher Ellis. Ellis hampir
menangis karena bahagia.
“Terima kasih. Tuhan memberkati Anda, Pak.
Selamat Natal.” kata Egar kepada orang tua itu.
“Selamat Natal teman-temanku.” Jawab pemilik
toko, senantiasa tersenyum.
Mereka berdua keluar dari toko dengan bahagia.
Salju turun lebih deras tapi mereka merasakan
kehangatan di dalam tubuh. Bintang-bintang mulai
muncul di langit, dan sinar-sinar mereka membuat
salju di jalan raya kebiru-biruan. Egar mengendong
gadis itu di atas bahunya dan meloncat dari satu
langkah ke langkah yang lain. Ia belum pernah
merasa begitu puas dalam hidupnya. Melihat tawa
riang gadis itu, ia merasa telah mendapat hadiah
Natal yang paling memuaskan untuk dirinya
sendiri. Ellis, dengan perut kenyang dan hadiah
yang berharga di lehernya, merasakan kegembiraan
Natal yang pertama dalam hidupnya.
Mereka bermain dan tertawa selama setengah jam,
sebelum Egar melihat jam di atas gereja dan
memutuskan bahwa ia harus pergi ke stasiun bis.
Karena itu ia membawa gadis itu ketempat dimana
ia menemukannya.
“Sekarang pulanglah, Ellis. Hati-hati di jalan.
Tuhan memberkatimu selalu.”
“Kemana Anda pergi, Pak?” tanya Ellis pada orang
asing yang baik hati itu.
“Saya harus pergi bekerja. Ingat sedapat mungkin
bersekolahlah yang rajin. Selamat Natal, sayang.”
Ia mencium kening gadis itu, dan berdiri. Ellis
mengucapkan terima kasih dengan suaranya yang
kecil, tersenyum dan berlari-lari kecil ke
asramanya. Kebahagiaan yang amat sangat
membuat gadis kecil itu lupa menanyakan nama
teman barunya. Egar merasa begitu hangat di
dalam hatinya. Ia tertawa puas, dan berjalan
menuju ke stasiun bis. Pengemudi bis
mengenalnya, dan sebelum Egar punya kesempatan
untuk bicara apapun, ia menunjuk salah satu
bangku yang masih kosong.
“Duduk di kursi kesukaanmu, saudaraku, dan
jangan cemaskan apapun. Sekarang malam Natal.”
Egar mengucapkan terima kasih, dan setelah saling
menukar salam Natal ia duduk di kursi
kesukaannya. Bis bergerak, dan Egar membelai
kalung yang ada di dalam kantongnya. Ia tidak
pernah mengenakan kalung itu di lehernya, tapi ia
punya kebiasaan untuk mengelus kalung itu setiap
saat. Dan kini ia merasakan perbedaan dalam
rabaannya. Keningnya berkerut ketika ia
mengeluarkan kalung itu dari kantongnya, dan
membaca sebuah kalimat yang baru diukir dibalik
bandulnya : 'Selamat Natal, Ellis Salam Sayang,
Sinterklas' . Saat itu ia baru sadar bahwa ia telah
keliru memberikan hadiah untuk Ellis……
***
Selama 12 tahun berikutnya hidup memperlakukan
Egar dengan amat keras. Dalam usahanya mencari
pekerjaan yang lebih baik, ia harus terus menerus
berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Akhirnya
ia bekerja sebagai pekerja bangunan di Marengo,
sekitar 1000 km dari kampung halamannya. Dan ia
masih belum bisa menemukan pekerjaan yang
cukup baik untuk makan lebih dari sekedar
makanan kecil atau kentang goreng. Karena
bekerja terlalu keras di bawah matahari dan hujan
salju, kesehatannya menurun drastis. Bahkan
sebelum umurnya mencapai 45 tahun, ia sudah
tampak begitu tua dan kurus. Suatu hari menjelang
Natal, Egar digotong ke rumah sakit karena
pingsan kecapaian. Hidup tampaknya akan berakhir
untuk Egar. Tanpa uang sepeserpun di kantong dan
sanak famili yang menjenguk, ia kini terbaring di
kamar paling suram di rumah sakit milik
pemerintah. Malam Natal itu, ketika setiap orang di
dunia menyanyikan lagu-lagu Natal, denyut nadi
Egar melemah, dan ia jatuh ke dalam alam tak
sadar.
Direktur rumah sakit itu, yang menyempatkan diri
menyalami pasien-pasiennya, sedang bersiap-siap
untuk kembali ke pesta keluarganya ketika ia
melihat pintu gudang terbuka sedikit. Ia memeriksa
buku di tangannya dan mengerutkan keningnya.
Ruang itu seharusnya kosong. Dia mengetuk pintu,
tidak ada jawaban. Dia membuka pintu itu dan
menyalakan lampu. Hal pertama yang dilihatnya
adalah seorang tua kurus yang tergeletak di atas
ranjang, di sebelah sapu-sapu dan kain lap. Tapi
perhatiannya tersedot pada sesuatu yang bersinar
suram di dadanya, yang memantulkan sinar lampu
yang menerobos masuk lewat pintu yang terbuka.
Dia mendekat dan mulai melihat benda yang
bersinar itu, yaitu bandul kalung yang sudah
kehitam-hitaman karena kualitas logam yang tidak
baik. Tapi sesuatu pada kalung itu membuat
hatinya berdebar. Dengan hati-hati ia memeriksa
bandul itu dan membaca kalimat yang tercetak di
baliknya. 'Selamat Natal, Ellis Salam Sayang,
Sinterklas'
Air mata turun di pipi Ellis. Inilah orang yang paling
diharapkan untuk bertemu seumur hidupnya. Inilah
orang yang membuat masa kanak-kanaknya begitu
tak terlupakan hanya dengan 1 malam saja, dan
inilah orang yang membuatnya percaya bahwa
sesungguhnya Sinterklas memang ada di dunia ini.
Dia memeriksa denyut nadi Egar dan mengangguk.
Tangannya yang terlatih memberitahu harapan
masih ada. Ia memanggil kamar darurat, dan
bergerak cepat ke kantornya. Malam Natal yang
sunyi itu dipecahkan dengan kesibukan mendadak
dan bunyi detak langkah-langkah kaki puluhan
perawat dan dokter jaga.
“Jangan kuatir, Pak…. Siapapun namaA. Ellis disini
sekarang, dan Ellis akan mengurus Sinterklasnya
yang tersayang.”
Dia menyentuh kalung di lehernya. Rantai emas itu
bersinar begitu terang sehingga seisi ruangan
terasa hangat walaupun salju mulai menderas
diluar. Ia merasa begitu kuat, perasaan yang
didapatnya tiap ia menyentuh kalung itu. Malam
ini dia tidak harus bertanya-tanya lagi karena ia
baru saja menemukan orang yang memberinya
hadiah Natal yang paling sempurna sepanjang
segala jaman.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Terima kasih atas kunjungannya .semoga dapat bermamaaf . kritik dan saran sangat perlu untuk membangun blog ini.