Di Balik Altar: Panggilan atau Pencitraan di Gereja Toraja?

Di Balik Altar: Panggilan atau Pencitraan di Gereja Toraja?

Di sebuah desa di pedalaman Toraja, yang terletak di antara pegunungan yang hijau dan lembah yang subur, terdapat sebuah gereja Toraja yang megah, berdiri kokoh dengan atap rumah adat Toraja yang menjulang tinggi. Gereja itu memiliki dinding kayu berwarna coklat kemerahan yang dipahat dengan detail ornamen khas Toraja, serta ukiran-ukiran yang menggambarkan kehidupan dan kepercayaan masyarakat setempat. Setiap Minggu, jemaat dari desa-desa sekitarnya berkumpul di gereja ini untuk mengikuti kebaktian yang penuh ritual.
Gereja ini dikenal sebagai pusat spiritualitas bagi masyarakat Toraja, tempat di mana mereka bukan hanya beribadah, tetapi juga merayakan hidup dan kematian, mengikat tali persaudaraan, dan menjaga tradisi adat yang sudah diwariskan turun-temurun. Tetapi, seiring berjalannya waktu, ada perubahan yang mulai terasa—gereja yang dulu penuh makna dan pengabdian, kini mulai menjadi tempat bagi sebagian orang untuk mencari status sosial.

Sok Tato', seorang pemuda yang lahir dan dibesarkan di desa ini, sering kali duduk di bangku belakang gereja, merenung, sambil memperhatikan setiap peristiwa yang terjadi. Sok Tato' dikenal sebagai pribadi yang kritis dan tajam dalam berpikir. Ia sangat menyadari perubahan yang terjadi di gereja mereka, yang semakin hari semakin dipenuhi dengan unsur pencitraan dan kepentingan pribadi, terutama bagi mereka yang ingin menjadi pendeta.

Lai' Kamboti, pendeta muda yang baru saja dilantik, adalah salah satu contoh yang paling mencolok. Pendeta wanita ini memiliki segala yang dibutuhkan untuk menjadi seorang pemimpin yang dihormati—wajah yang cantik, kemampuan berbicara yang memukau, dan gaya yang sangat modern. Kebaktian Minggu yang dipimpinnya selalu menarik perhatian banyak jemaat, namun ada yang membuat Sok Tato' merasa tidak nyaman. Khotbah yang disampaikan terkadang lebih terkesan sebagai pertunjukan, penuh dengan gaya dan intonasi dramatis, tetapi sangat sedikit mengena ke inti makna iman yang sesungguhnya.

Suatu hari, setelah kebaktian, Sok Tato' memutuskan untuk berbicara langsung dengan Lai' Kamboti di luar gereja. Mereka berdiri di halaman gereja, di bawah pohon besar yang telah menjadi saksi bisu dari banyak peristiwa dalam sejarah desa itu. "Lai', aku ingin bertanya, apakah kamu merasa benar-benar dipanggil untuk menjadi pendeta, atau kamu hanya melihat peluang untuk mendapatkan sesuatu lebih?" tanya Sok Tato' dengan nada yang agak tajam.

Lai' Kamboti tersenyum tipis, kemudian menjawab dengan lembut, "Sebenarnya, aku ingin membantu banyak orang, Sok. Tapi, menjadi pendeta juga membuka banyak kesempatan. Kamu tahu, selain bisa melayani, posisi ini juga dihormati dan ada gaji yang cukup untuk hidup nyaman."

Sok Tato' terdiam mendengar jawaban itu. Ia merasa kecewa, tetapi dalam hatinya, ia sudah lama melihat pola yang sama. Banyak orang yang memutuskan menjadi pendeta karena alasan duniawi—gaji yang menjanjikan, status yang terhormat, dan kehidupan yang lebih terjamin. Ia merasa gereja mereka kini telah berubah, menjadi tempat untuk mengejar keuntungan duniawi, bukan tempat suci yang mengajarkan pengabdian kepada Tuhan.

Di saat yang sama, beberapa teman Sok Tato' juga mulai membuka pembicaraan tentang cita-cita mereka untuk menjadi pendeta. "Kalau jadi pendeta, kan hidup kita terjamin, banyak orang yang menghormati," kata Balia' Lantang, salah seorang temannya yang sangat memperhatikan status sosial.

Sok Tato' semakin merasa kecewa. Ia mulai merasakan bahwa gereja yang dulu dipenuhi dengan semangat kebersamaan dan kerendahan hati, kini telah menjadi ajang untuk mencari ketenaran. Ia memandang gereja Toraja, dengan atap rumah adat yang megah, seolah menjadi simbol dari sebuah tradisi yang semakin tergerus oleh kepentingan pribadi.

Kebaktian hari Minggu berikutnya terasa semakin kaku dan penuh dengan formalitas. Meskipun jemaat hadir dalam jumlah yang banyak, banyak dari mereka yang hanya duduk di bangku, mengikuti ritual tanpa benar-benar memahami maknanya. Sok Tato' berdiri di mimbar, memandang jemaat yang duduk teratur dengan wajah-wajah kosong. Ia merasakan bahwa gereja ini, yang dulu penuh dengan keceriaan dan semangat beribadah, kini lebih mirip dengan sebuah tempat untuk memamerkan pencapaian dan status sosial.

Setelah kebaktian selesai, Sok Tato' kembali menemui para tetua gereja. Ia mengajukan pertanyaan yang sudah lama mengganjal dalam pikirannya, "Apakah kita masih bisa mempertahankan esensi gereja ini? Mengapa banyak orang yang berbondong-bondong menjadi pendeta, bukan karena panggilan hati, tetapi karena gaji dan status sosial?"

Para tetua gereja saling berpandangan. Mereka tidak bisa menyangkal bahwa ada sebagian dari mereka yang mulai terjebak dalam duniawi. Salah satu tetua, La' Baju' Lumban, akhirnya berkata dengan suara rendah, "Sok Tato', kita sudah terlalu lama mengikuti arus ini. Mungkin sudah saatnya kita kembali merenung tentang apa yang sebenarnya kita perjuangkan di gereja ini."

Sok Tato' mengangguk, merasa sedikit lega mendengar pengakuan itu. Namun, ia tahu bahwa jalan untuk memperbaiki keadaan tidak akan mudah. Ia menyadari bahwa gereja Toraja, dengan segala kemegahannya, harus kembali pada tujuan awalnya—tempat untuk melayani dengan tulus, bukan untuk mencari status dan keuntungan pribadi.

Pesan Moral:
Gereja adalah tempat untuk beribadah, mencari kedamaian, dan melayani Tuhan dengan hati yang tulus. Tidak seharusnya profesi pendeta dipandang sebagai jalur untuk meraih status sosial atau keuntungan materi. Gereja Toraja, dengan segala kekayaan budaya dan tradisinya, harus tetap menjadi simbol dari pengabdian sejati, bukan tempat untuk mencari ketenaran atau kedudukan.

Catatan : nama dan tempat hanyalah ilusi. 

Posting Komentar

0 Komentar