DARAH KAUNAN, WARISAN YANG TAK PERNAH HILANG
----------YUSUF BATU SALU-----
Disclaimer
Tulisan ini disusun berdasarkan cerita dan kisah-kisah yang selama ini saya dengar dari beberapa orang tua dan sumber-sumber informal di lingkungan saya.
Nama saya: Yusuf Batu Salu.
Saya menyadari bahwa topik ini sangat sensitif untuk dibahas, terutama menyangkut Kaunan dan Makaka di masyarakat Toraja.
Karena itu, saya menegaskan bahwa tulisan ini hanya merupakan pendapat kecil yang saya kumpulkan dari berbagai cerita lisan, dan bukan merupakan kebenaran mutlak.
Saya tidak bermaksud menyinggung pihak mana pun.
Jika dalam narasi ini terdapat kekeliruan atau ketidakakuratan, saya dengan rendah hati memohon maaf sebesar-besarnya, dan bersedia menerima koreksi untuk memperbaikinya di kemudian hari.

Di Toraja, di balik megahnya Tongkonan dan semarak upacara adat, ada satu kisah lama yang jarang sekali dibahas secara terbuka: tentang Kaunan dan Makaka.
Kisah ini seperti bayang-bayang yang masih ada, tapi banyak orang memilih diam atau pura-pura lupa.
Kaunan, sebagaimana yang saya dengar dari beberapa orang tua, adalah keturunan tertentu yang keberadaannya diakui dalam struktur sosial adat Toraja.
Mereka lahir dari garis keturunan yang sudah sejak dulu dianggap berbeda dalam tatanan sosial.
Namun hingga saat ini, saya pribadi belum menemukan informasi yang benar-benar jelas dan pasti mengenai asal usul pertama kali Kaunan itu muncul.
Cerita-cerita tentang Kaunan hanya hidup dalam percakapan lisan — dalam potongan-potongan kisah yang disampaikan dari satu generasi ke generasi berikutnya.
Di sisi lain, Makaka adalah sebutan bagi orang-orang berdarah bangsawan.
Mereka memiliki kedudukan yang lebih tinggi dalam adat, dihormati dalam acara-acara adat besar, dan biasanya memakai simbol-simbol tertentu seperti baju putih dan sambu busa dalam ritual-ritual penting — pakaian yang tidak semua orang bebas memakainya.
Pada kenyataannya, meskipun kini zaman sudah berubah dan kesetaraan antar manusia lebih diutamakan, pemisahan antara Kaunan dan Makaka tetap terasa dalam suasana upacara adat.
Tidak semua orang mendapatkan tempat duduk yang sama, tidak semua orang diberikan peran yang setara, meski secara lisan kita sering mendengar kalimat: "Sekarang semua orang sudah sama."
Ada ungkapan tua yang pernah saya dengar dari orang-orang tua kami:
"Mui sama puduk kasisi keden Rara kaunan nangka kaunanan."
Artinya, betapapun kecilnya darah Kaunan dalam diri seseorang, darah itu tetap ada dan tetap dihitung.
Bahkan dalam pernikahan silang antara Makaka dan Kaunan, garis keturunan itu tetap melekat.
Orang yang mewarisi sebagian darah Makaka mungkin lebih menonjolkan sisi kebangsawanannya, namun dalam pandangan adat lama, darah Kaunan itu tidak bisa dihapuskan begitu saja.
Itulah sebabnya, dalam upacara-upacara adat tertentu, batas-batas itu masih kelihatan, meskipun dunia luar ingin mempercayai bahwa semua telah berubah.
Namun perlu diakui, membahas Kaunan di zaman sekarang sudah menjadi sesuatu yang sangat tabu.
Banyak yang memilih diam, banyak yang merasa lebih nyaman menganggap semua sudah setara.
Sebagian besar anak muda bahkan mungkin tidak pernah lagi mendengar istilah ini dalam obrolan sehari-hari.
Saya menulis narasi ini bukan untuk mengungkit luka lama, bukan untuk mempertegas perbedaan, melainkan hanya untuk mengabadikan satu bagian kecil dari cerita lisan yang saya dengar, sebelum semuanya benar-benar terlupakan ditelan zaman.
Dan sekali lagi, jika dalam tulisan ini terdapat kesalahan atau kekeliruan, saya dengan tulus memohon maaf dan siap menerima setiap masukan untuk memperbaikinya.
------ Yusuf Batu Salu
#adattoraja
Catatan tambahan : tolong baca disclaimer
0 Komentar