Lebaran Tanpa Pelukan di Bahomakmur
Suara takbir menggema di langit Bahomakmur, menyelimuti desa dengan nuansa bahagia. Anak-anak berlarian di jalan, mengenakan baju baru, tertawa riang. Para ibu sibuk di dapur menyiapkan hidangan istimewa untuk keluarga.
Namun, di sebuah rumah kecil di ujung desa, suasana jauh berbeda. Yusuf, bocah berusia 12 tahun, duduk termenung di depan rumahnya yang berdinding kayu rapuh. Matanya menerawang kosong, menatap orang-orang yang berlalu-lalang membawa kue dan makanan.
Di dalam rumah, ibunya terbaring lemah di atas kasur tipis. Wajahnya pucat, tubuhnya kurus. Nafasnya tersengal-sengal, namun tetap berusaha tersenyum saat melihat Yusuf masuk.
“Nak… Sudah malam takbiran, kenapa kamu diam saja?” suara ibunya lirih.
Yusuf duduk di sampingnya, menggenggam tangannya yang terasa dingin. “Bu… Kenapa setiap Lebaran tidak ada yang datang ke rumah kita? Apa ibu tidak punya saudara?”
Ibunya terdiam sejenak. Senyum pahit tersungging di bibirnya. “Tunggu, Nak… Jika suatu hari rumah ini megah dan ada mobil mewah di depannya, semua orang akan datang… Mereka akan mengaku sebagai saudara terbaik kita…”
Yusuf mengerutkan kening. Ia tidak sepenuhnya mengerti, tapi hatinya terasa nyeri mendengar kata-kata itu.
Ia bangkit, menatap dapur yang kosong. Tak ada ketupat, tak ada opor ayam, hanya sepotong nasi dingin yang tersisa di piring. Ia menelan ludah, lalu beranjak ke luar rumah.
Malam itu, ia berjalan menyusuri jalanan desa, berharap ada yang mengajaknya merasakan kehangatan takbiran. Namun, tak seorang pun memperhatikannya. Semua sibuk dengan keluarga masing-masing.
Yusuf berhenti di depan rumah besar di tengah desa. Dari jendela, ia melihat keluarga itu tertawa bahagia, menikmati makanan yang melimpah.
Hatinya mencelos. Kenapa mereka bisa begitu bahagia, sementara ia dan ibunya bahkan tidak punya makanan untuk dimakan besok pagi?
Ia berbalik, kembali ke rumah. Ia tidak ingin ibunya melihat kesedihannya.
Pagi Lebaran
Orang-orang mengenakan baju baru, saling bermaafan dengan senyum cerah. Di masjid, setelah salat Id, mereka pulang dengan hati riang, berkumpul bersama keluarga.
Yusuf duduk di depan rumahnya, mengenakan baju lama yang sudah lusuh. Ibunya masih terbaring lemah di dalam, tidak sanggup bangun untuk memasak.
Seorang tetangga lewat, melirik ke arahnya, lalu berbisik pada suaminya, “Kasihan mereka… tapi kita juga tidak bisa terus membantu, kita juga pas-pasan…”
Yusuf mendengar itu. Ia menunduk, menggenggam bajunya erat-erat.
Perutnya kosong, tapi ia tidak berani mengeluh. Ia tahu, ibunya pasti lebih lapar darinya.
Siang itu, ia memutuskan pergi ke belakang rumah, di dekat kebun kosong. Ia mencari daun singkong liar, mencabut beberapa ubi kecil yang tersisa di tanah. Dengan itu, ia mencoba memasak sesuatu untuk ibunya.
Saat ia kembali ke rumah, ibunya memaksakan diri duduk. Matanya berkaca-kaca melihat anaknya yang masih kecil, namun sudah memikul beban sebesar ini.
“Nak… Maafkan ibu…” suaranya bergetar.
Yusuf tersenyum kecil, meski air mata menggenang di matanya. “Tidak apa-apa, Bu… Kita masih bisa makan bersama… Itu sudah cukup.”
Ibunya menunduk, menahan isak. Ia tahu, jauh di dalam hati anaknya, ada luka yang tidak bisa ia sembuhkan.
Hari itu, saat seluruh desa merayakan Lebaran dengan kebahagiaan, Yusuf dan ibunya hanya berbagi nasi dan daun singkong di rumah kecil mereka.
Tapi bagi Yusuf, tidak ada yang lebih penting dari melihat ibunya tetap bersamanya.
Karena baginya, kebahagiaan sejati bukan tentang baju baru atau makanan lezat… Tapi tentang masih bisa bersama orang yang dicintai.
0 Komentar